Selasa, 03 April 2012

Ushul Fiqh (Ta arrud al-adillah)




BAB I
PENDAHULUAN

            1.1 Latar Belakang Masalah
Pada waktu Nabi Muhammad saw masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu beliau juga memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadits atau as-sunnah.
Dalam perkembangan Islam yang mencakup seluruh dimensinya, dihadapkan pula dengan kejadian-kejadian hukum yang memerlukan suatu ketetapan-ketetapan hukum baru. Dalam hal ini, para ulama mujtahid berusaha untuk merumuskan kaidah-kaidah atau aturan permainan yang menjadi pedoman untuk merumuskan hukum berdasar dari sumber-sumbernya. Kesemuanya ini merupakan topik pembicaraan dalam ushul fiqh.
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syari’at Islam dari sumber aslinya,Alqur’an dan Sunnah.Melalui ilmu ushul fiqh dapat diketahui kaidah-kaidah,prinsip-prinsip umum syari’at islam,cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.


1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana tinjauan pengertian Ta’arrud al-‘Adillah dan Metode
Penyelesaiannya  ?


1.3  Tujuan Rumusan Masalah
Mengetahui Ta’arud al-Adillah dan penyelesaiannya.

  
                                                               BAB II
                                                        PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arrud al-‘Adillah.

Ta’arrud al-adilah ditinjau dari aspek etimologi, ta’rud (تعارض ) berarti pertentangan dan adillah ( الادلة ) adalah jama’ dari dalil ( الدليل ) yang berarti alasan,argumen,dan dalil. Persoalan ta’rud al-adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqh,ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.[1]

Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqih tentang ta’rud al-adillah adalah :
  1. Imam Syaukani,mendefinisikannya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan,sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.”
  2. Kamal ibnu Humam (790-861 H/1387-1456 M) dan Al Taftahzani (w. 792 H),keduanya ahli fiqih Hanafi,mendefinisikannya dengan “Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
  3. Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya,yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat.
Oleh sebab itu, menurut Imam Al-Syatibi, pertentangan itu bersifat semu, biasa terjadi dalam dalil yang qoth’i (pasti benar) dan dalil yang dhanni (relative benar) selama kedua dalil itu satu derajat.

Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda,seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’I,sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni.[2]


B.Metode Penyelesaian Ta’arudul Adillah

Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,maka ia dapat menggunakan cara untuk berusaha untuk menyelesaikannya. Cara itu dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah. Menurut Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :


1. Nasakh
a. Pengertian Nasakh
Dari segi lughat (bahasa) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.[3] Adapun menurut ulama Ushul Fiqh, definisi nasakh yaitu:
بيان انتهاء امد حكم شرعي بطريق شرعيّ متراخ عنه
Artinya: "Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar'i; yang datang kemudian".
رفع حكم شرعيّ عن المكلف بحكم شرعيّ


Artinya: "Pembatalan hukum syara' yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara' yang datang kemudian".
Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan apabila memenuhi kriteria berikut:
·           Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
·           Yang dibatalkan adalah syara' yang disebut mansukh (yang dihapus).
·           Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut nasakh.
b. Rukun Nasakh
Rukun Nasakh itu ada empat, pertama ; Adat an-nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada. Kedua, Nasikh adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Ketiga, Mansukh, yaitu hukum yang dibatakan, dihapuskan, atau dipindahkan. Keempat, Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
c. Hikmah Nasakh
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, di antara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar'i maka datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.
d. Perbedaan Nasakh dengan Taksis
Nasakh dengan Taksis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum, untuk mengkhususkan sebagian kandungan suatu lafadz. Hanya saja, taksis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.

Adapun perbedaan di antara keduanya adalah; taksis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nash dan yang sebelumnya telah berlaku.
e. Syarat-syarat Nasakh
Keberadaan nasakh dalam al-Quran harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak. Di antara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
·        Yang dibatalkan adalah hukum syara'
·        Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara'
·        Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
·        Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.

Adapun syarat-syarat yang diperselisihkan, antara lain: Mu'tazilah dan sebagian Hanafiyah menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilakukan atau syara' memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, menunjukkan bahwa hukum itu baik. Sebaliknya, jika belum sempat dilaksanakan, berarti hukum itu buruk.

Jumhur membantah pendapat di atas dengan alasan, kebaikan suatu hukum itu tidak hanya dinilai dari akibat perbuatan tersebut. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yakni kepatuhan kepada Allah. Secara fakta telah banyak hukum yang dinasakh sebelum dilaksanakan, seperti perintah shalat pada waktu Isra Miraj Nabi yang mula-mula diperintahkan 50 kali, tetapi belum sempat perintah tersebut dilaksanakan sudah dinasakh 5 kali saja.

   Mu'tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara' bukan oleh akal.

Menurut Imam Syafi'i, al-Quran tidak bisa dinasakh, kecuali dengan al-Quran, dan hadis mutawatir juga tidak dinasakh, kecuali dengan hadis mutawatir pula. Hal itu dibantah oleh jumhur bahwa al-Quran bisa dinasakh dengan hadis mutawatir dan hadis mutawatir pun bisa dinasakh dengan al-Quran.
Menurut Jumhur, qiyas tidak bisa menjadi nasikh maupun mansukh. Sebaliknya Tajudin, ahli ushul fiqh dari kalangan syafi'iyah, berpendapat bahwa qiyas bisa menasakh al-Quran, karena qiyas berasal dari nash. Namun, dia tidak memberikan contohnya.
Menurut jumhur ijma tidak boleh menjadi nasikh maupun mansukh, dengan alasan bahwa ijma itu baru bisa dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan nasakh. Sedangkan bila ijma dimansukh berarti membatalkan landasan ijma itu sendiri. Namun, menurut Imam Al-Badzdawi, ijma itu boleh dinasakh dengan ijma lainnya yang datang kemudian.
f. Macam-macam nasakh
Para ulama membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaranya:
Nasakh yang tidak ada gantinya.
Nasakh yang ada penggantinya; namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat.
Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku.
Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada,
Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus.

Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh. Jumhur lebih memerinci hukum tambahan sebagai berikut :




·        Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasaikh.
·        Apabila hukum yang dinasakh berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh.
·        Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula.

Menurut Jumhur hal ini tidak dinamakan nasakh. Akan tetapi menurut Hanafiyah ini termasuk nasakh karena hukum asalnya telah berubah. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari'atkan. Menurut kesepakatan ulama dikatakan nasakh, namun mereka tidak memberikan contohnya.
g. Cara mengetahui nasikh dan mansukh
Untuk mengetahui tentang nasikh dan mansukh, antara lain melalui hal-hal di bawah ini :
Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu.
Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis, yang menyatakan satu dahis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.


2. Tarjih
a. Pengertian Tajrih
Secara etimologi, tarjih berarti menguatkan, sedangkan secara terminologi yaitu :
تقوية إحدى الإمارتين على الأخرى ليعمل بها
Artinya: "Menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut"
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajah (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.[4]

b. Cara pentarjihan
1. Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut :
Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul

2. Dari segi matan
Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, antara lain:
Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti disbanding mufassar.
Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran.

3. Dari segi hukum atau kandungan hukum
Menurut Asy-Syaukani ada beberapa cara, yaitu:
Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah:
مااجتمع الحلال والحرام الاغلب الحرام
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan."
 Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan dengan teks yang bersifat meniadakan.
Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama, menghindarkan terpidana dari hukuman.

Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.

4. Tarjih menggunakan factor (dalil) lain di luar nash
Menurut Asy-Syaukani diantara caranya adalah :
·        Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan lain-lain.
·        Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Quran dan penafsirannya.
·        Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
·        Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
·        Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.

5. Dari segi hukum asal
Menurut Asy-Syaukani pentarjihan qiyas dari hukum asal bisa menggunakan 16 cara, di antaranya :
·        Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath'I dari yang zhanni.
·        Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh, sedangkan ijma tidak.
·        Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
·        Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
·        Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
·        Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.

 6. Dari segi hukum cabang
Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath'I dari yang hanya diketahui secara zhanni.
Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.

7. Dari segi illat
Pentarjihan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Pentarjihan dari segi cara penetapan illat, antara lain:
·        Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
·        Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
·        Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari sifat yang ditetapkan melalui munasabah, karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
b. Pentarjihan dari sifat
·        Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relative
·        Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja.
·        Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang). Dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyat daripada yang bersifat tahsiniyat (pelengkap).
·        Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

 8. Pentarjihan qiyas melalui faktor luar
Pentarjihan dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:
·        Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
·        Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil).
·        Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu' daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu' saja.
·        Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil
Dalam menentukan hukum pada suatu persoalan yang tidak hanya memiliki satu dalil yang mana antara dalil tersebut ada pertentangan maka hal ini menjadi bahasan ta'arud al-adhillah. Dalil-dalil tersebut berada pada tingkatan yang sama, artinya bisa antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.
Adapun dalam hal penyelesaian ketika ada dua dalil yang bertentangan para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni para ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah. Mereka menetapkan beberapa tahapan dalam penyelesaian ta'arud al-adhillah. Dan penggunaan metode penyelesaian ta'arud al-adhillah harus dilakukan secara berurutan yaitu:
Jamu’ wa al-Taufiq, Tarjih, Nasakh, dan Tatsaqut al-dalilain.


3. Al Jam’u wa Al Taufiq
Bahasan ini cenderung ditinjau dari sisi keadilan periwayat suatu hadits. Al Jam’u wa Al Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikannya.Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan,maka menurut ulama’ Hanafiyah,dalil-dall itu dikumpulkan dan dikompromikan.Dengan demikian,hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya,karena kaidah fiqih mengatakan: Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. [5]
 
4. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain yaitu mengugurkan kedua dalil yang bertentanan. Apabila cara ketiga diatas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid,maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut,dalam arti ia merujuk dalil yang tingkatannya dibawah derajat dalil yang bertentangan tersebut. Keempat cara di atas harus ditempuh secara berurutan.[6]
Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua ayat,maka mujtahid boleh mencari dalil yang kualitasnya dibawah ayat alqur’an,yaitu as sunnah. Apabila kedua hadis yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentnagn dan cara-cara diatas tidak bisa juga ditempuh,maka ia boleh mengambil pendapat sahabat.
Hal ini ditujukan bagi mujtahid yang menjadikannya dalil syara’,sedangkan bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi).


BAB III
   PENUTUP

Kesimpulan

Pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya bukan pertentangan actual,karena tidak mungkin terjadi bila Allah dan Rasul nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Apabila pertentangan terjadi antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan dalil yang qoth’i dengan dalil yang zhanni,maka yang diambil adalah dalil yang qath’I atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al Qur’an dengan hadits Ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu,dua atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al qur’an karena dari segi periwayatannya ayat-ayat Al aqur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadits Ahad bersifat zhanni
Cara atau metode penyelesaian Ta’rud wa al-adillah dikemukakan masing-masing oleh ulama’ Hanafiyah dan ulama’ Syafi’iyah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dngan cara:
Nasakh, Tarjih, Al Jam’u wa Al Taufiq, Tasaqut Al-Dalilain.
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat. Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut Ulama’ Syafi’iyah,Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:
Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, Tasaqut Al-Dalilaini.
Menurut ulama’ Syafiiyah, malikiyah dan Zhahiriyah keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan. Dan untuk tawaquf hanya didukung pendapat muhaddis.



DAFTAR PUSTAKA

Syafe'i Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999, cet., ke-2
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu ushulul Fiqh ; Terjemah, Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, cet. ke-1
Rahman, Mukhtar Yahya dan Fachur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1998. cet. ke-4
Drs. Khairul Uman-Drs.H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia
           Bandung,2001

















[1] Drs. Khairul Uman-Drs.H.A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II,Pustaka Setia Bandung, 2001. Hal.183


[2] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999, cet., ke-2. Hal.226
[3] Ibid, hal. 231
[4]  Ibid, hal. 242
[5] Ibid, hal. 228
[6]  Ibid, hal. 229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar